Senin, 27 Februari 2012

kepdew 2..... hipersensitivitas

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang
Sistem imun adalah semua mekanisme yang digunakan tubuh untuk melindungi tubuh terhadap bahaya yang ditimbulkan berbagai bahan dalam lingkungan hidup (B. Rina A. Sidharta, 2006). Pertahanan tubuh terhadap patogen terdiri dari sistem imun alamiah atau nonspesifik yang sudah ada dalam tubuh, dan dapat bekerja segera bila ada ancaman. Namun ada kalanya respon atau reaksi imun itu berlebihan atau tidak terkontrol dan reaksi demikian disebut reaksi hipersensitivitas. Reaksi hyper imun ini disebut juga dengan alergi.
Dahulu, reaksi hipersensitivitas yang diperantarai oleh imunoglobulin disebut reaksi hipersensitivitas tipe cepat (atau humoral), sedangkan yang diperantarai oleh mekanisme imun seluler disebut hipersensitivitas tipe lambat (atau cell-mediated). Walaupun istilah-istilah ini masih digunakan saat ini, namun adanya tumpang tindih yang cukup banyak dalam kecepatan munculnya berbagai reaksi menyebabkan ketepatan kedua istilah menjadi berkurang. Klasifikasi cidera imunologik yang lebih bermanfaat yang dikembangkan oleh Gel dan Coombs membagi hipersensitivitas menjadi tipe I, II, III, dan IV. Sebab di dunia, khususnya di Indonesia dimana kita berada banyak terdapat penderita hipersensitvitas. Kita sebagai calon perawat yang baik, harus mengetahui dasar-dasar imunologi dan juga mengenai seluk-beluk hipersensitivitas. Dengan begitu, di kemudian hari, kita bisa melakukan penanganan yang benar terhadap hipersensitivitas.

1.2 Tujuan penulisan
Untuk memenuhi tugas Keperawatan Anak dan semoga kami sebagai penyusun dapat mengambil manfaat serta dapat memperluas wawasan pada pasien dengan diagnosa medis Phimosis pada khususnya.

1.3 Sistematika penulisan
Makalah ini terdiri dari bab 1 pendahuluan yang terdiri dari latar belakang permasalahan ,tujuan penulisan dan sistematika penulisan kemudian bab 2 yaitu landasan teoritis penyakit yang dibahas, serta asuhan keperawatan penyakitnya. Bab 3 membahas kasus yang berkaitan dengan penyakit yang sedang dibahas,yang terakhir yaitu bab 4 penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran dari makalah yang telah disusun, serta daftar pustaka yang menjadi acuan dalam pembuatan makalah ini.

BAB II
LANDASAN TEORITIS

2.1 Landasan teoritis penyakit
2.1.1 Defenisi
Alergi atau hipersensitivitas adalah kegagalan kekebalan tubuh di mana tubuh seseorang menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi terhadap bahan-bahan yang umumnya imunogenik (antigenik). (Retno W.Soebaryo,2002)
Dengan kata lain, tubuh manusia bereaksi berlebihan terhadap lingkungan atau bahan-bahan yang oleh tubuh dianggap asing atau berbahaya. Bahan-bahan yang menyebabkan hipersensitivitas tersebut disebut allergen.

2.1.2 Etiologi
Secara umum semua benda di lingkungan (pakaian, makanan, tanaman, perhiasan, alat pembersih, dsb) dapat menjadi penyebab alergi, namun faktor lain misalnya :
a.perbedaan keadaan fisik setiap bahan
b.kekerapan pajanan
c.daya tahan tubuh seseorang
d.adanya reaksi silang antar bahan akan berpengaruh terhadap timbulnya alergi
(Retno W.Soebaryo,2002)

2.1.3 Patofisiologi
Patofisiologis reaksi hipersensitivitas yaitu :
1.Reaksi Tipe I(Anafilaktik)
Reaksi tipe I adalah reaksi alergi yang timbul segera sesudah badan terpajan dengan antigen. Pada kontak awal dengan imunogen, tubuh memproduksi IgE yang kemudian beredar ke seluruh tubuh dan terfiksasi ke permukaan mastosit dan basofil. Saat tubuh kembali kontak dengan imunogen yang sama, interaksi antara imunogen dengan antibodi (IgE) yang sudah melekat ke mastosit menyebabkan pelepasan secara mendadak dan besar-besaran zat proinflamasi seperti histamin. Disamping histamin, mediator lain seperti prostaglandin dan leukotrien yang dihasilkan dari metabolisme asam arakidonat akan berperan pada fase lambat dari reaksi cepat tersebut, yang sering timbul beberapa jam sesudah terpajan dengan antigen. Apabila jumlah imunogen yang masuk sedikit dan didaerah yang terbatas maka pelepasan mediatornya juga lokal. Akibatnya terjadi vasodilatasi lokal disertai peningkatan permeabilitas dan pembengkakan. Namun apabila jumlah imunogen yang masuk dalam jumlah besar dan intravena ke dalam organ yang sudah peka, maka pelepasan mediator-mediatornya dapat sangat banyak dan meluas, akhirnya timbul reaksi anafilaktik. Yang sering menjadi penyebab reaksi tipe I adalah serbuk sari, bisa serangga, alergen hewan, jamur, obat, dan makanan (Price, 2007).

2.Reaksi Tipe II (Sitotoksis)
Ig G atau Ig M dalam darah berikatan dengan epitop di permukaan imunogen atau antigen MHC yang disajikan dipermukaan sel. Akibat dari interaksi antigen antibodi adalah percepatan fagositosis atau lisis sel sasaran yang terjadi setelah pengaktivan sistem komplemen. Jenis lain reaksi tipe II adalah sitotoksisitas yang diperantarai oleh ADCC. Pada reaksi tipe ini, imunoglobulin yang ditujukan terhadap antigen-antigen permukaan suatu sel berikatan dengan sel tersebut. Leukosit seperti neutrofil dan makrofag yang memiliki reseptor untuk bagian tertentu ( bagian Fc ) molekul Ig tersebut kemudian berikatan dengan sel dan menghancurkannya (Baratawidjaya, 2002).

3.Reaksi Tipe III ( Kompleks Imun )
Kompleks Ag-Ab ditemukan dalam jaringan, sirkulasi atau dinding pembuluh darah dan mengaktifkan komplemen. Komplemen antigen-antibodi dapat mengaktifkan beberapa sistem imun sbb :

a.Aktivasi komplemen
Melepas anafilatoksin yang merangsang mastosit melepas histamin. Melepas faktor kemotaktik, mengerahkan polimorf yang melepas enzim proteolitik dan protein polikationik.
b.menimbulkan agregasi trombosit
c.menimbulkan mikrotrombi dan melepas amine vasoaktif
d.mengaktifkan makrofag (Baratawidjaya, 2002)

4.Reaksi Tipe IV ( Reaksi Lambat )
Reaksi terjadi karena respons sel T yang sudah disensitisasi terhadap antigen tertentu. Di sini tidak ada peranan antibodi. Akibat sensitisasi tersebut, sel T melepas limfokin.

Ada 4 jenis reaksi hipersensitivits tipe IV, yaitu :
a.Reaksi Jones Mote
Reaksi JM ditandai oleh adanya infiltrasi basofil di bawah epidermis. Reaksi biasanya terjadi sesudah 24 jam tetapi hanya berupa eritem tanpa indurasi, yang merupakan ciri dari CMI (Baratawidjaya, 2002)
b.Hipersensitivitas Kontak dan Dermatitis Kontak
Dermatitis kontak timbul pada kulit tempat kontak dengan alergen. Sel langerhans sebagai APC memegang peranan pada reaksi ini (Baratawidjaya, 2002)
c.Reaksi Tuberkulin
Terjadi 20 jam setelah terpajan dengan antigen. Reaksi terdiri atas infiltrasi sel mononuklear. Setelah 48 jam timbul infiltrasi limfosit dalam jumlah besar di sekitar pembuluh darah yang merusak hubungan serat-serat kolagen kulit (Baratawidjaya, 2002)
d.ReaksiGranuloma
Reaksi granuloma merupakan reaksi hipersensitivitas yang paling penting karena menimbulkan banyak efek patologis. Hal tersebut terjadi karena adanya antigen yang persisten di dalam makrofag yang biasanya berupa mikroorganisme yang tidak dapat dihancurkan atau kompleks imun yang menetap misalnya pada alveolitis alergik. Reaksi granuloma terjadi sebagai usaha badan untuk membatasi antigen yang persisten, sedang reaksi tuberkulin merupakan respon imun seluler oleh antigen mikroorganisme yang sama misalnya M. tuberculosis dan M. leprae (Baratawidjaya, 2002)


2.1.4 Manifestasi Klinis
Reaksi tipe I dapat terjadi sebagai suatu gangguan sistemik atau reaksi lokal. Pemberianantigen protein atau obat (misalnya, bias lebah atau penisilin) secara sistemik (parental) menimbulkan anafilaksis sistemik. Dalam beberapa menit setelah pajanan, pada pejamu yang tersensitisasi akan muncul rasa gatal, urtikaria(bintik merah dan bengkak), dan eritems kulit,diikuti oleh kesulitan bernafas berat yang disebabkan oleh bronkokonstriksi paru dan diperkuat dengan hipersekresi mukus. Edema laring dapat memperberat persoalan dengan menyebabkanobstruksi saluran pernafasan bagian atas. Selain itu, otot semua saluran pencernaan dapat terserang, dan mengakibatkan vomitus, kaku perut, dan diare. Tanpa intervensi segera,dapatterjadi vasodilatasi sistemik (syok anafilaktik ), dan penderita dapat mengalami kegagalan sirkulasi dan kematian dalam beberapa menit. Reaksi lokal biasanya terjadi bila antigen hanya terbatas pada tempat tertentu sesuai jalur pemajanannya, seperti di kulit (kontak, menyebabkan urtikaria), traktus gastrointestinal (ingesti,menyebabkan diare), atau paru (inhalasi, menyebabkan bronkokonstriksi).


2.1.5 Komplikasi
a.Polip hidung
b.Otitis media
c.Sinusitis paranasal
d.Anafilaksi
e.Pruritus
f.Mengi
g.Edema
(Baratawidjaya, 2002)

2.1.6 Penatalaksanaan Medis dan Keperawatan
Penanganan gangguan alergi berlandaskan pada empat dasar :
1.Menghindari allergen
2.Terapi farmakologis
•Adrenergik
Yang termasuk obat-obat adrenergik adalah katelokamin ( epinefrin, isoetarin, isoproterenol, bitolterol ) dan nonkatelomin ( efedrin, albuterol, metaproterenol, salmeterol, terbutalin, pributerol, prokaterol dan fenoterol ). Inhalasi dosis tunggal salmeterol dapat menimbulkan bronkodilatasi sedikitnya selam 12 jam, menghambat reaksi fase cepat maupun lambat terhadap alergen inhalen, dan menghambat hiperesponsivitas bronkial akibat alergen selama 34 jam.
•Antihistamin
Obat dari berbagai struktur kimia yang bersaing dengan histamin pada reseptor di berbagai jaringan. Karena antihistamin berperan sebagai antagonis kompetitif mereka lebih efektif dalam mencegah daripada melawan kerja histamin.

•Kromolin Sodium
Kromolin sodium adalah garam disodium 1,3-bis-2-hidroksipropan. Zat ini merupakan analog kimia obat khellin yang mempunyai sifat merelaksasikan otot polos. Obat ini tidak mempunyai sifat bronkodilator karenanya obat ini tidak efektif unutk pengobatan asma akut. Kromolin paling bermanfaat pada asma alergika atau ekstrinsik.
•Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah obat paling kuat yang tersedia untuk pengobatan alergi. Beberapa pengaruh prednison nyata dalam 2 jam sesudah pemberian peroral atau intravena yaitu penurunan eosinofil serta limfosit prrimer. Steroid topikal mempunyai pengaruh lokal langsung yang meliputi pengurangan radang, edema, produksi mukus, permeabilitas vaskuler, dan kadar Ig E mukosa.
3.Imunoterapi
Imunoterapi diindikasikan pada penderita rhinitis alergika, asma yang diperantarai Ig E atau alergi terhadap serangga. Imunoterapi dapat menghambat pelepasan histamin dari basofil pada tantangan dengan antigen E ragweed in vitro. Leukosit individu yang diobati memerlukan pemaparan terhadap jumlah antigen E yang lebih banyak dalam upaya melepaskan histamin dalam jumlah yang sama seperti yang mereka lepaskan sebelum terapi. Preparat leukosit dari beberapa penderita yang diobati bereaksi seolah-olah mereka telah terdesensitisasisecara sempurna dan tidak melepaskan histamin pada tantangan dengan antigen E ragweed pada kadar berapapun.
4.Profilaksis
Profilaksis dengan steroid anabolik atau plasmin inhibitor seperti traneksamat, sering kali sangat efektif untuk urtikaria atau angioedema.

2.1.7 Pemeriksaan Penunjang dan diagnostic
a.Pemeriksaan Fisik (hasilnya bergantung lama dan berat gangguan alergi) :
-Tinggi dan berat badan → dibandingkan dengan normal (asma berat dan pengobatannya [kortikosteroid adrenal] dapat menekan pertumbuhan)
-Pulsus paradoksus → beda tekanan darah arteri sistemik selama inspirasi dan ekspirasi, normalnya tidak lebih dari 10 mmHg. Tapi pada asma akut dapat >10-20 mmHg
-Tampak sianosis → karena sumbat jalan nafas jika saturasi O2 arterial < 85%, timbul retraksi supraklavikuler dan interkostal, napas cuping hidung, dispneu → asma akut
-Penampakan lesi urtikaria dapat bervariasi dari bilur-bilur 1-3, multipel sampai bilur raksasa yang disertai angioedema
-Jari tabuh → asma yang terkomplikasi
-Mukosa hidung: pucat, biru/ merah, kotoran hidung jernih & banyak, hipertrofi tonsil & adenoid → rhinitis alergika
-Auskultasi paru, jika ada

b.Pemeriksaan Penunjang
Macam tes kulit untuk mendiagnosis alergi :
-Puncture, prick dan scratch test biasa dilakukan untuk menentukan alergi oleh karena alergen inhalan,makanan atau bisa serangga
-Skin Prick Test adalah salah satu jenis tes kulit sebagai alat diagnosis yang banyak digunakan oleh para klinisi untuk membuktikan adanya IgE spesifik yang terikat pada sel mastosit kulit. Terikatnya IgE pada mastosit ini menyebabkan keluarnya histamin dan mediator lainnya yang dapat menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah akibatnya timbul flare/kemerahan dan wheal/bentol pada kulit tersebut.
-Tes intradermal biasa dilakukan pada alergi obat dan alergi bisa serangga
-Patch test (epicutaneus test) biasanya untuk melakukan tes pada dermatitis kontak

2.2 Asuhan Keperawatan Teoritis
2.2.1 Pengkajian
1. Riwayat Kesehatan Sekarang
Mengkaji data subjektif yaitu data yang didapatkan dari klien,meliputi:Alasan masuk rumah sakit:Pasien mengeluh nyeri perut,sesak nafas,demam,bibirnya bengkak,timbul kemerahan pada kulit,mual muntah,dan terasa gatal.
2.Riwayat Kesehatan Masa Lalu
Mengkaji apakah sebelumnya pasien pernah mengalami sakit yang sama atau yang berhubungan dengan penyakit yang saat ini diderita. Misalnya, sebelumnya pasien mengatakan pernah mengalami nyeri perut,sesak nafas, demam,bibirnya bengkak,timbul kemerahan pada kulit,mual muntah,dan terasa gatal dan pernah menjalani perawatan di RS atau pengobatan tertentu.
3. Riwayat Kesehatan Keluarga
Mengkaji apakah dalam keluarga pasien ada/tidak yang mengalami penyakit yang sama.
Pengkajian fungsional GORDON
1.Persepsi kesehatan dan manajemen kesehatan
Cara pasien dalam memelihara kesehatan, kebiasaan dalam mengkonsumsi obat-obat tertentu untuk menahan rasa sakit serta pandanhan pasien dan keluarga terhadap hipersensitivitas yang dialaminya.
2.Pola nutrisi dan metabolik
Pola nutrisi metabolik pada pasien yang mengalami hipersensitivitas akan menjadi terganggu, nafsu makan pasien akan menjadi berkurang kemudian biasanya pasien yang mengalami hipersensitivitas tidak dapat memakan sembarangan makanan, sehingga akan mengakibatkan penurunan berat badan pasien.
3.Pola eliminasi
Proses eliminasi pasien mengalami gangguan. Biasanya frekuensi BAK dan BAB akan lebih sering daipada dalam keadaan normal.
4.Pola aktivitas dan latihan
Pola aktivitas dan latihan pasien akan terganggu selama mengalami hipersensitivitas, ini terjadi karena alergi yang dialaminya akan menyebabkan penderita mengalami gangguan sistem ubh, seperti gatal-gatal, sesak nafas, diare, dll
5.Pola tidur dan istirahat
Pola tidur dan istirahat pasien akan mengalami gangguan karena pasien akan merasa terganggu dengan alergi yang dideritanya.
6.Pola kognitif dan persepsi
Biasanya penderita akan mengalami nyeri, dan gangguan integritas kulit dan terjadinya pengurangan sensasi rasa pada bagian yang mengalami alergi.
7.Pola persepsi dan konsep diri
Pada pola ini emosi pasien biasanya tidak stabil, pasien akan merasa kurang percaya diri karena mengalami gangguan pada citra tubuhnya.
8.Pola peran dan hubungan
Pasien alergi akan mengalami perubahan dalam peran dan tanggung jawabnya karena pasien tidak dapat melakukan aktivitas seperti biasanya dan bagi keluarga pasien yang mau menerima keadaan pasien saat ini akan lebih mengeratkan hubungan pasien dan keluarga.
9.Pola seksual dan reproduksi
Biasanya pada pasien alergi pola ini akan mengalami gangguan. Karena penyakit yang dideritanya
10.Pola koping dan toleransi stress
Pada pasien yang mengalami hipersensitivitas membutuhkan perhatian yang lebih dari orang-orang terdekat, hal itu akan membuat penderita lebih bisa mengendalikan stress yang dialaminya sehingga alergi yang dideritanya tidak bertambah parah.
11.Pola nilai dan keyakinan
Selama alergi, pasien akan mengalami gangguan dalam beribadah, namun pasien bisa melakukan kegiatan ibadahnya dengan cara-cara yang di anjurkan oleh agama yang dianutnya.

2.2.2 Askep Nanda,
a.Gangguan pertukaran gas
Defenisi
Penurunan jalannya gas oksigen dan karbondioksida antara alveoli paru dan sistem vaskular
b.Gangguan perfusi jaringan perifer
DEFINISI : pengurangan/penurunan dalam sirkulasi darah ke perifer yang bisa menyebabkan gangguan kesehatan/ membahayakan kesehatan.
c.Kekurangan Volume Cairan
Definisi : Keadaan individu yang mengalami penurunan cairan intravaskuler, interstisial, dan / atau cairan intrasel. Diagnosis ini merujuk ke dehidrasi yang merupakan kehilangan cairan saja tanpa perubahan dalam natrium.
d.Kurangnya pengetahuan tentang penyakit
Defenisi: ketiadaan atau kekurangan informasi teori yang berhubungan yang berhubungan dengan suatu topik tertentu/spesifik


DAFTAR PUSTAKA

Hendy. 2009. Askep Rhinitis. Online http://hendy-kumpulanaskep.blogspot.com/. Diakses tanggal 31 Oktober 2010.
Mansjoer, arif dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Jilid.1 Edisi 5. jakarta : Media Aesculapius
Smeltzer, suzanne C. 2001. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC
www.Scribd.com/doc/58962557/patofisiolofi-hipersensitivitas
www.scribd.com/doc37876673/reksi-hipersensitivitas
www.nurse.unair.ac.id/materikuliah/imunopatologi.pdf
www.pdf.kq5.org/doc/makalahhipersensitivitas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar